Penyunting: Zulisih Maryani, Agustinus Dwi Nugroho, Raynald Alfian Yudisetyanto

Penulis: Triyono Bramantyo, Yaksa Agus, Sudjadi Tjipto R., I Wayan Dana, Yudiaryani, Agustinus Dwi Nugroho-Zahrina Zatadini, Deddy Setyawan, Andrialis Abdul Rahman-Ellyana Mohd Muslim Tan-Siti Norfatulhana Ishak, R. Yulli Adam Panji Purnama-Imam Akhmad, Gibbran Prathisara, Ikun Sri Kuncoro, I Gede Arya Sucitra, Kris Budiman, Dona Prawita Arissuta, Antonius Janu Haryono, Puji Qomariyah, Irwandi, Risman Marah

ISBN :

Tahun terbit: 2023

Stock: Ada

Harga: Rp.

SINOPSIS:

Buku bunga rampai purnatugas Estetika, Seni, dan Media ini diterbitkan sebagai wujud representasi perjalanan karier Drs. Alexandri Luthfi Rahman, M.S. (AL) sebagai seniman-akademisi selama kurun waktu dari 1986 hingga 2023. Sosok yang akrab disapa Alex, Alex Luthfi, atau Abah Alex ini lahir di Surabaya pada 12 September 1958. Menempuh pendidikan sarjana pada tahun 1978-1983 di STSRI “ASRI”, ISI Yogyakarta dan menyelesaikan kuliah pascasarjana di bidang seni tahun 1989-1992 di Fakultas Seni Murni, Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.

AL mengawali karier akademik seninya sebagai dosen pada tahun 1986 di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta sampai pada tahun 1994. Pada tahun yang sama ia pindah mengajar di Jurusan Film dan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta. Pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Media Rekam selama dua periode, yakni 2008-2012 dan 2012-2016.

Buku bunga rampai ini tersusun atas 18 artikel ilmiah yang merupakan kontribusi para kolega AL, baik yang berasal dari ISI Yogyakarta di FSR, FSP, dan FSMR maupun para kolega dari seniman dan akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bahkan, ada satu tulisan dari kolega AL, Andrialis Abdul Rahman dkk. dari Universiti Teknologi MARA.

Hadirnya buku ini dapat pula dimaknai sebagai bentuk ungkapan refleksi atas kiprah AL sebagai seniman dan akademisi. Selain itu, beberapa artikel mengulas estetika seni serta estetika dan media. Tulisan yang dimuat diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu tulisan estetika seni secara umum; tulisan tentang estetika dan media; serta tulisan yang membahas refleksi atas diri AL. Tulisan dari berbagai pihak tersebut disajikan dan diurutkan dari yang general ke yang spesifik. Sebelum masuk ke bagian inti, AL menulis esai tentang autobiografi dirinya dengan sudut subjektif untuk memberikan pemahaman kepada pembaca.

Bagian estetika seni diawali oleh Triyono Bramantyo, berupa kajian atas makna estetik kebudayaan kita yang didahului dengan diskursus mengenai kajian kebudayaan, hingga pemahaman atas makna signifikan kebudayaan nasional kita yang memiliki spirit kesatuan dan kebersamaan atas keberagaman budaya.

Yaksa Agus mengulas Yogyakarta yang diyakini melahirkan banyak seniman besar, bahkan disebut sebagai “Ibu Kota Seni Rupa Indonesia”. Ia menyayangkan di balik nama besar Yogyakarta sebagai gudangnya seniman, sampai saat ini Yogyakarta belum memiliki museum seni rupa. Kehidupan seni rupa hanya ditandai dari masih adanya kehidupan seniman dengan segala aktivitas, dari berkarya di studio sampai di ruang pameran.

Salah satu kekayaan budaya visual lokal unik dan mulai banyak dilirik para peneliti budaya visual adalah lukisan bak truk. Selama ini fokus penelitian lukisan bak truk pada kajian seni, semiotika, dan bahasa. Sudjadi Tjipto R. khusus mengkaji lukisan bak truk dari ilmu estetika humor. Hasil analisis unsur humor ditemukan pada semua kategori lukisan bak truk yang didominasi oleh tema lukisan dengan sosok wanita.

Bagian akhir estetika seni adalah tulisan I Wayan Dana tentang estetika Rejang Dayung yang hadir secara indah, harmonis-dinamis antara ekspresi gerak, nada dan energi spiritual sebagai koreografi  tari kelompok berpasangan satu-satunya di Bali.

Mengawali bagian estetika dan media terdiri, Yudiaryani mengulas potensi teknologisasi dalam seni pertunjukan mengubah kinerja dramaturgi. Dramaturgi yang semula bermanfaat mengembangkan ilmu dan pengetahuan seni, kini menjadi suatu kinerja mediasi atau perantara secara teknologis yang bermanfaat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi manusia pada abad ke-21.

Agustinus Dwi Nugroho dan Zahrina Zatadini menjabarkan bagaimana bentuk-bentuk relasi antara persinggungan seni lukis dan seni film, serta motivasi di baliknya. Dengan sampel tiga film: Un Chien Andalou (1929) karya Louis Bunuel dan Salvador Dali, Spellbound (1945) karya Alfred Hitcock, serta Dream (1998) dalam segmen Crowd karya Akira Kurosawa, penulis membedah dengan teori aliran seni terutama aliran impresionisme dan surealisme untuk melihat perspektif pendekatan aliran karya filmnya. Persinggungan antarseni tersebut memperlihatkan sebuah kolaborasi antarseniman dalam memadukan dua seni yang berbeda, serta sebagai bentuk tribute terhadap tokoh seniman penting.

Deddy Setyawan mengulas video art TRIOLOGI di Pameran MIRROR #6 Rumah Budaya Tembi. Ia menganalisis proses pembuatan berdasarkan manajemen produksi video art dengan pendekatan planing, organizing, actuating, dan controlling.

Hal menarik tentang studi fotografi kimia dikaji oleh Andrialis Abdul Rahman, Ellyana Mohd Muslim Tan, Siti Norfatulhana Ishak. Eksperimental dalam expired film photography merupakan metode pengambilan gambar yang menarik dan inventif karena memungkinkan fotografer untuk bereksperimen dengan teknik baru dan menguji batas-batas fotografi konvensional. Gambar yang menakjubkan dan berkesan pun dapat dihasilkan karena sifat film yang tidak dapat diprediksi dan kualitas unik yang dihasilkannya.

Yulli Adam Panji Purnama dan Imam Akhmad mengimplementasikan meditasi dalam penciptaan karya fotografi. Pendekatan practice-led research dilakukan melalui studi praktik di lapangan dengan memfokuskan padafotografi sebagai media meditasi”. Melalui kegiatan meditasi yang diterapkan, kesan keheningan dan ketenangan akan muncul dalam hasil jepretan foto. Hal tersebut akan menampilkan hasil jepretan berbeda dari biasanya dibandingkan dengan teknik dan genre/aliran lainnya.

Gibbran Prathisara mengakhiri bagian seni dan media dengan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana budaya digital telah membentuk dan mengubah budaya seni dengan studi studi kasus seniman potret Devon Rodriguez. Artikel ini mengulas asumsi ekologi media dari sisi demokratisasi akses terhadap seni, partisipasi penikmat seni, penyebaran seni, dan viralitas  yang muncul seiring perkembangan media digital.

Bagian terakhir dalam buku ini adalah refleksi tentang diri AL. Diawali oleh Ikun Sri Kuncoro bahwa autobiografi kreatif adalah penjelasan sejarah. Hal ini untuk menyikapi jika arsip-arsip Alex Luthfi sepanjang 1994-2014 dipaparkan, titik-titik balik kehidupan kreatifnya akan terbuka. Autobiografi-kreatif pun tersusun, terinskripsikan. Bahan ajar perkuliahan, tumpukan makalah, esai, karya lukis, dan karya artistik lainnya adalah arsip. Pameran rupa instalasi arsip, juga film dokumenter hanyalah upaya mendekatkan pada disiplin-disiplin akademik yang tersedia. Tinjauan utama autobiografi-kreatif tetaplah pada titik balik kehidupan kreatif subjeknya.

I Gede Arya Sucitra mengeksplorasi refleksi kritis kesadaran ‘life-world’ dari seniman Alex Luthfi. Kesadaran reflektif Alex Luthfi memberikan pemahaman bahwa seni tidak hanya berfokus pada ekspresi artistik, tetapi harus diperkuat dengan pengetahuan, mempertimbangkan konteks sosial dan memiliki kepekaan menginterpretasikan realitas sekitar.

Kris Budiman membahas kecenderungan intermedialitas, yang hingga sejauh ini dapat teramati dalam korpus karya-karya Alex Luthfi, serta bagaimana praktik intermedialnya, terutama dengan mengedepankan kasus transposisi “Pemimpi” dari sebuah puisi ke dalam seni visual.

Dona Prawita Arissuta mengaitkan jejak kreatif dan akademik Alexandri Luthfi Rahman dengan persoalan “pictorial turn” dan bagaimana gambar akan menjadi kecenderungan baru dalam melihat realitas kehidupan sebagaimana pernah diperkenalkan dan diperdebatkan para pakar seperti Gilez Delueze dan WJT Mitchell. Alex Luthfi Rahman telah bekerja sebagai seniman dan akademisi dengan beragam media: lukisan, cukilan, video-dokumenter, video art, dan fotografi yang dibarengi dengan memberikan pencerahan tentang “visual literacy” sebagai antisipasi bagi “pictorial turn” yang tengah berlangsung.

Paparan Puji Qomariyah adalah pembacaan sekilas perjalanan berkesenian Alex Luthfi R. di tengah kesibukannya mengajar di Fakultas Seni Media Rekam, ISI Yogyakarta. Dengan latar belakang seni murni, karya cipta seni Alex justru terbentang sangat luas dan beragam dari konsep, ide-pemikiran, medium-teknik, hingga penulisan seni rupa. Pembacaan realitas sosial hingga lahir karya seri Wayang Rumput, Topeng, dan Babi Berdasi; karya tiga matra; hingga karya fotografi-videografi adalah bukti konsistensi Alex Luthfi dalam menggali dan menjaga kreativitas dalam berkesenian. Keseluruhan proses kreatif tersebut menjadi salah satu legacy Alex Luthfi bagi dunia seni rupa Indonesia.

Irwandi mengakhiri bagian refleksi tentang Alexandri Luthfi dengan tinjauan karya Alex Luthfi yang bersinggungan dengan fotografi dalam tiga dekade terakhir. Melalui fotografi mix media, pesan-pesan yang tidak tersampaikan melalui perekaman realitas dapat diungkap dan tersampaikan kepada pemirsa dengan cara yang khas. Lelaku seni AL membuktikan bahwa ideologi, tema, dan eksperimentasi medium merupakan kombinasi strategis untuk menunjukkan distingsi seorang seniman.